Iptek dan Peradaban Islam
Diposting oleh
Uus Saputra
di
08.58
PTEKDAN PERADABAN ISLAM
Pendahuluan
Pendahuluan
Bicara
tentang kejayaan peradaban Islam di masa lalu, dan juga jatuhnya
kemuliaan itu seperti nostalgia. Orang bilang, romantisme sejarah. Tidak
apa-apa, terkadang ada baiknya juga untuk dijadikan sebagai bahan
renungan. Karena bukankah masa lalu juga adalah bagian dari hidup kita.
Baik atau buruk, masa lalu adalah milik kita. Kaum muslimin, pernah
memiliki kejayaan di masa lalu. Masa di mana Islam menjadi trendsetter
sebuah peradaban modern. Peradaban yang dibangun untuk kesejahteraan
umat manusia di muka bumi ini.
Masa
kejayaan itu bermula saat Rasulullah mendirikan pemerintahan Islam,
yakni Daulah Khilafah Islamiyah di Madinah. Tongkat kepemimpinan
bergantian dipegang oleh Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman
bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan seterusnya. Di masa Khulafa
as-Rasyiddin ini Islam berkembang pesat. Perluasan wilayah menjadi
bagian tak terpisahkan dari upaya penyebarluasan Islam ke seluruh
penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Penaklukan wilayah-wilayah, adalah sebagai bagian dari upaya untuk
menyebarkan Islam, bukan menjajahnya. Itu sebabnya, banyak orang yang
kemudian tertarik kepada Islam. Satu contoh menarik adalah tentang Futuh
Makkah (penaklukan Makkah), Rasulullah dan sekitar 10 ribu pasukannya
memasuki kota Makkah. Kaum Quraisy menyerah dan berdiri di bawah kedua
kakinya di pintu Ka’bah. Mereka menunggu hukuman Rasul setelah mereka
menentangnya selama 21 tahun. Namun, ternyata Rasulullah justru
memaafkan mereka.
Begitu pula yang
dilakukan oleh Shalahuddin al-Ayubi ketika merebut kembali Yerusalem
dari tangan Pasukan Salib Eropa, ia malah melindungi jiwa dan harta 100
ribu orang Barat. Shalahuddin juga memberi ijin ke luar kepada mereka
dengan sejumlah tebusan kecil oleh mereka yang mampu, juga membebaskan
sejumlah besar orang-orang miskin. Panglima Islam ini pun membebaskan 84
ribu orang dari situ. Malah, saudaranya, al-Malikul Adil, membayar
tebusan untuk 2 ribu orang laki-laki di antara mereka.
Padahal 90 tahun
sebelumnya, ketika pasukan Salib Eropa merebut Baitul Maqdis, mereka
justru melakukan pembantaian. Diriwayatkan bahwa ketika penduduk al-Quds
berlindung ke Masjid Aqsa, di atasnya dikibarkan bendera keamanan
pemberian panglima Tancard. Ketika masjid itu sudah penuh dengan
orang-orang (orangtua, wanita, dan anak-anak), mereka dibantai
habis-habisan seperti menjagal kambing. Darah-darah muncrat mengalir di
tempat ibadah itu setinggi lutut penunggang kuda. Kota menjadi bersih
oleh penyembelihan penghuninya secara tuntas. Jalan-jalan penuh dengan
kepala-kepala yang hancur, kaki-kaki yang putus dan tubuh-tubuh yang
rusak. Para sejarawan muslim menyebutkan jumlah mereka yang dibantai di
Masjid Aqsa sebanyak 70 ribu orang. Para sejarawan Perancis sendiri
tidak mengingkari pembantaian mengerikan itu, bahkan mereka kebanyakan
menceritakannya dengan bangga.
Fakta ini cukup
membuktikan betapa Islam mampu memberikan perlindungan kepada penduduk
yang wilayahnya ditaklukan. Karena perang dalam Islam memang bukan untuk
menghancurkan, tapi memberi kehidupan. Dengan begitu, Islam tersebar ke
hampir sepertiga wilayah di dunia ini.
Peradaban Islam memang
mengalami jatuh-bangun, berbagai peristiwa telah menghiasi
perjalanannya. Meski demikian, orang tidak mudah untuk begitu melupakan
peradaban emas yang berhasil ditorehkannya untuk umat manusia ini.
Pencerahan pun terjadi di segala bidang dan di seluruh dunia.
Sejarawan Barat
beraliran konservatif, W Montgomery Watt menganalisa tentang rahasia
kemajuan peradaban Islam, ia mengatakan bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama.
Satu dengan yang lain, dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan
syariat Islam, sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan
riset-riset ilmiah.
Orientalis Sedillot
seperti yang dikutip Mustafa as-Siba’i dalam Peradaban Islam, Dulu,
Kini, dan Esok, mengatakan bahwa, “Hanya bangsa Arab pemikul panji-panji
peradaban abad pertengahan. Mereka melenyapkan barbarisme Eropa yang
digoncangkan oleh serangan-serangan dari Utara. Bangsa Arab melanglang
mendatangi ‘sumber-sumber filsafat Yunani yang abadi’. Mereka tidak
berhenti pada batas yang telah diperoleh berupa khazanah-khazanah ilmu
pengetahuan, tetapi berusaha mengembangkannya dan membuka pintu-pintu
baru bagi pengkajian alam.”
Andalusia, yang menjadi
pusat ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam, telah melahirkan ribuan
ilmuwan, dan menginsiprasi para ilmuwan Barat untuk belajar dari
kemajuan iptek yang dibangun kaum muslimin.
Jadi wajar jika Gustave
Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab, terutama
buku-buku keilmuan hampir menjadi satu-satunya sumber-sumber bagi
pengajaran di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam
abad. Tidak hanya itu, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku
bangsa Arab-Persia lah yang dijadikan sandaran oleh para ilmuwan Barat
seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull,
san Thomas, Albertus Magnus dan Alfonso X dari Castella.
Buku al-Bashariyyat
karya al-Hasan bin al-Haitsam diterjemahkan oleh Ghiteleon dari Polska.
Gherardo dari Cremona menyebarkan ilmu falak yang hakiki dengan
menerjemahkan asy-Syarh karya Jabir. Belum lagi ribuan buku yang
berhasil memberikan pencerahan kepada dunia. Itu sebabnya, jangan heran
kalau perpustakaan umum banyak dibangun di masa kejayaan Islam.
Perpustakaan al-Ahkam di Andalusia misalnya, merupakan perpustakaan yang
sangat besar dan luas. Buku yang ada di situ mencapai 400 ribu buah.
Uniknya, perpustakaan ini sudah memiliki katalog. Sehingga memudahkan
pencarian buku. Perpustakaan umum Tripoli di daerah Syam, memiliki
sekitar tiga juta judul buku, termasuk 50.000 eksemplar al-Quran dan
tafsirnya. Dan masih banyak lagi perpustakaan lainnya. Tapi naas,
semuanya dihancurkan Pasukan Salib Eropa dan Pasukan Tartar ketika
mereka menyerang Islam.
Peradaban Islam memang
peradaban emas yang mencerahkan dunia. Itu sebabnya menurut Montgomery,
tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’nya, Barat bukanlah
apa-apa. Wajar jika Barat berhutang budi pada Islam.
Empat belas abad yang
silam, Allah Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan
ikutan bagi umat manusia. Beliau adalah merupakan Rasul terakhir yang
membawa agama terakhir yakni Islam. Hal ini secara jelas dan tegas
dikemukakan oleh Al-Qur’an dimana Kitab Suci tersebut memproklamasikan
keuniversalan misi dari Muhammad SAW sebagaimana kita jumpai dalam
ayat-ayat berikut ini:
Katakanlah, “Wahai
manusia , sesungguhnya aku ini Rasul kepada kamu sekalian dari Allah
yang mempunyai kerajaan seluruh langit dan bumi. Tak ada yang patut
disembah melainkan Dia.”…………..(QS. 7:159).
Dan kami tidaklah
mengutus engkau melainkan sebagai pembawa kabar suka dan pemberi
peringatan untuk segenap manusia……….(QS. 34:29).
Dan tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh ummat…….(QS. 21:108).
Nabi Muhammad SAW telah
mengubah pandangan hidup dan memberi semangat yang menyala-nyala kepada
umat Islam, sehingga dari bangsa yang terkebelakang dalam waktu yang
amat singkat mereka, mereka telah menjadi guru sejagat. Ummat Islam
menghidupkan ilmu, mengadakan penyelidikan-penyelidikan. Fakta sejarah
menjelaskan antara lain , bahwa Islam pada waktu pertama kalinya
memiliki kejayaan, bahwa ada masanya ummat Islam memiliki tokoh-tokoh
seperti Ibnu Sina di bidang filsafat dan kedokteran, Ibnu Khaldun di
bidang Filsafat dan Sosiologi, Al-jabar dll. Islam telah datang ke
Spanyol memperkenalkan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu
ukur, aljabar, arsitektur, kesehatan, filsafat dan masih banyak cabang
ilmu yang lain lagi.
Masa Kejayaan Islam
Pertama telah menjadi bukti sejarah bahwa dengan mengamalkan ajaran
Al-Qur’an ummat Islam sendiri akan menikmati kemajuan peradaban dan
kebudayaan diatas bumi ini. Di masa Kejayaan Islam Pertama, pimpinan
Islam berada di tangan tokoh-tokoh yang setiap orangnya patuh sepenuhnya
dan setia kepada Nabi Muhammad SAW, baik secara keimanan, keyakinan,
perbuatan, akhlak, pendidikan, kesucian jiwa, keluhuran budi maupun
kesempurnaan.
Pimpinan Ummat Islam
sesudah wafatnya nabi Muhammad SAW, Abubakar, Umar, Utsman dan Ali
adalah merupakan pemimpin-pemimpin duniawi dengan jabatan Khalifah, yang
menganggap kedudukan mereka itu sebagai pengabdian pada ummat Islam,
bukan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan mutlak dan kemegahan.
Dalam tiga abad pertama sejarah permulaaan Islam (650-1000M) ,
bagian-bagian dunia yang dikuasai Islam adalah bagian-bagian yang paling
maju dan memiliki peradaban yang tinggi. Negeri-negeri Islam penuh
dengan kota-kota indah, penuh dengan mesjid-mesjid yang megah,
dimana-mana terdapat perguruan tinggi dan Univesitas yang didalamnya
tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah yang bernilai tiggi.
Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang kontras dengan dunia
Nasrani Barat, yang tenggelam dalam masa kegelapan zaman.
2. Pembahasan
a. Kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah
adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara)
Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika
berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat
Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan
kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas),
paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah,
nama lengkapnya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn al-Abbas.
Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial , dan budaya.
Berdasarkan perubahan
pola pemerintahan dan pola politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia Pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki Pertama.
3. Periode Ketiga (334
H/945 M – 447 H/1055 M, masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan
Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
Kedua.
4. Periode Keempat (447
H/1055 M/ – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam
pemerintahan Khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki Kedua.
5. Periode Kelima (590
H/1194 M – 656 H/1258 M), masa Khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Dalam zaman Daulah
Abbasiyah, masa meranumlah kesusasteraan dan ilmu pengetahuan, disalin
ke dalam bahasa Arab, ilmu-ilmu purbakala. Lahirlah pada masa itu sekian
banyak penyair, pujangga, ahli bahasa, ahli sejarah, ahli hukum, ahli
tafsir, ahli hadits, ahli filsafat, thib, ahli bangunan dan sebagainya.
Zaman ini adalah zaman
keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Bani
Abbasiyah. Dalam zaman ini, kedaulatan kaum muslimin telah sampai ke
puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan, ataupun kekuasaan. Dalam
zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam, dan berbagai ilmu penting
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Masa Daulah Abbasiyah adalah
masa di mana umat Islam mengembangkan ilmu pengetahuan, suatu kehausan
akan ilmu pengetahuan yang belum pernah ada dalam sejarah.
Kesadaran akan
pentingnya ilmu pengetahuan merefleksikan terciptanya beberapa karya
ilmiah seperti terlihat pada alam pemikiran Islam pada abad ke-8 M.
yaitu gerakan penerjemahan buku peninggalan kebudayaan Yunani dan
Persia.
Permulaan yang disebut
serius dari penerjemahan tersebut adalah sejak abad ke-8 M, pada masa
pemerintahan Al-Makmun (813 –833 M) yang membangun sebuah lembaga khusus
untuk tujuan itu, “The House of Wisdom / Bay al-Hikmah”. Dr. Mx
Meyerhof yang dikutip oleh Oemar Amin Hoesin mengungkapkan tentang
kejayaan Islam ini sebagai berikut: “Kedokteran Islam dan ilmu
pengetahuan umumnya, menyinari matahari Hellenisme hingga pudar
cahayanya. Kemudian ilmu Islam menjadi bulan di malam gelap gulita
Eropa, mengantarkan Eropa ke jalan renaissance. Karena itulah Islam
menjadi biang gerak besar, yang dipunyai Eropa sekarang. Dengan
demikian, pantas kita menyatakan, Islam harus tetap bersama kita.”
(Oemar Amin Hoesin)
Adapun kebijaksanaan
para penguasa Daulah Abbasiyah periode 1 dalam menjalankan tugasnya
lebih mengutamakan kepada pembangunan wilayah seperti: Khalifah tetap
keturunan Arab, sedangkan menteri, gubernur, dan panglima perang
diangkat dari keturunan bangsa Persia. Kota Bagdad sebagai ibukota,
dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan ekonomi dan sosial
serta politik segala bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan
bermukim di dalamnya, ada bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Hindi dan
sebagainya.
Ilmu pengetahuan
dipandang sebagai suatu hal yang sangat mulia dan berharga. Para
khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya
untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada umumnya khalifah
adalah para ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan
memuliakan pujangga.
Kebebasan berpikir
sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan
pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana
menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala
bidang, termasuk bidang aqidah, falsafah, ibadah dan sebagainya.
Para menteri keturunan
Persia diberi hak penuh untuk menjalankan pemerintahan, sehingga mereka
memegang peranan penting dalam membina tamadun/peradaban Islam. Mereka
sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk memajukan
kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu pengetahuan, sehingga karena
banyaknya keturunan Malawy yang memberikan tenaga dan jasanya untuk
kemajuan Islam.
b. Latar Belakang dan Faktor-faktor yang Memunculkan “Revolusi Abbasiyah”
Menjelang akhir daulah
Umawiyah (akhir abad pertama Hijriyah) terjadilah bermacam-macam
kekacauan dalam segala cabang kehidupan negara; terjadi kekeliruan dan
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para khalifah dan para pembesar
negara lainnya, terjadilah pelanggaran-pelanggaranterhadap ajaran-ajaran
Islam.
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang diperbuat, yaitu:
Politik kepegawaian negara didasarkan pada klik, golongan, suku, kaum dan kawan (nepotisme)
Penindasan yang
terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Imam Ali bin Abi Thalib RA pada
khususnya dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiah) pada umumnya.
Menganggap rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-haka asasi manusia dengan cara yang terang-terangan.
Prof. Dr. Hamka
melukiskan keadaan tersebut “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi
khalifah, waktu itulah mulai disusun dengan diam-diam propaganda untuk
menegakkan Bani Abbas. Keadaan dan cara Umar bin Abdul Aziz memerintah
telah menyebabkan suburnya propaganda untuk Daulat yang akan berdiri
itu. Sebab sejak zaman Muawiyah Daulat Bani Umayyah itu didirikan dengan
kekerasan. Siasat yang keras dan licik, yang pada zaman sekarang dalam
ilmu politik disebut “Machiavellisme”, artinya mempergunakan segala
kesempatan, sekalipun kesempatan yang jahat untuk memperbesar kekuasaan.
Umpamanya memburuk-burukkan dan menyumpah Ali bin Abi Thalib RA dalam
tiap khutbah Jum’at; itu sudah terang tidak dapat diterima umat dengan
rela hati.”.
Selanjutnya Dr. Badri Yatim, MA,.mengungkapkan dalam bukunya
c. Kegemilangan Iptek di Masa Khilafah Abasiyyah
Kekhilafahan Abbasiyah
tercatat dalam sejarah Islam dari tahun 750-1517 M/132-923 H. Diawali
oleh khalifah Abu al-’Abbas as-Saffah (750-754) dan diakhiri Khalifah
al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentang waku yang cukup
panjang, sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkan pada
dunia ketinggian peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi di dunia Islam.
Di era ini, telah lahir
ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai penemuannya yang mengguncang
dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yang menemukan angka nol dan
namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika, Algoritma (logaritma).
Ada Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udara untuk mengukur
suhu udara. Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena, pakar Medis
Islam legendaris dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadi
referensi ilmu kedokteran para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni
(973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman sehingga diperoleh
kesimpulan kalau bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak
pernah 7 atau 9.
Pada abad ke-8 dan 9 M,
negeri Irak dihuni oleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani.
Hebatnya, mereka sudah pakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat
dan Tigris. Hasilnya, di negeri-negeri Islam rasio hasil panen gandum
dibandingkan dengan benih yang disebar mencapai 10:1 sementara di Eropa
pada waktu yang sama hanya dapat 2,5:1.
Kecanggihan teknologi
masa ini juga terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti
arsitektur mesjid Agung Cordoba; Blue Mosque di Konstantinopel; atau
menara spiral di Samara yang dibangun oleh khalifah al-Mutawakkil,
Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di Seville, Andalusia pada
tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di atas bukit yang
menghadap ke kota Granada.
Kekhilafahan Abbasiyah
dengan kegemilangan ipteknya kini hanya tercatat dalam buku usang
sejarah Islam. Tapi jangan khawatir, someday Islam akan kembali jaya dan
tugas kita semua untuk mewujudkannya.
Dinasti Abbasiyiah
membawa Islam ke puncak kejayaan. Saat itu, dua pertiga bagian dunia
dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Tradisi keilmuan berkembang pesat.
Masa kejayaan Islam,
terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan teknologi, kata Ketua Kajian
Timur Tengah Universitas Indonesia, Dr Muhammad Lutfi, terjadi pada masa
pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dia adalah khalifah dinasti Abbasiyah
yang berkuasa pada tahun 786.
Saat itu, kata Lutfi,
banyak lahir tokoh dunia yang kitabnya menjadi referensi ilmu
pengetahuan modern. Salah satunya adalah bapak kedokteran Ibnu Sina atau
yang dikenal saat ini di Barat dengan nama Avicenna.
Sebelum Islam datang,
kata Luthfi, Eropa berada dalam Abad Kegelapan. Tak satu pun bidang ilmu
yang maju, bahkan lebih percaya tahyul. Dalam bidang kedoteran,
misalnya. Saat itu di Barat, jika ada orang gila, mereka akan
menangkapnya kemudian menyayat kepalanya dengan salib. Di atas luka
tersebut mereka akan menaburinya dengan garam. ”Jika orang tersebut
berteriak kesakitan, orang Barat percaya bahwa itu adalah momen
pertempuran orang gila itu dengan jin. Orang Barat percaya bahwa orang
itu menjadi gila karena kerasukan setan,” jelas Luthfi.
Pada saat itu tentara
Islam juga berhasil membuat senjata bernama ‘manzanik’, sejenis ketepel
besar pelontar batu atau api. Ini membuktikan bahwa Islam mampu
mengadopsi teknologi dari luar. Pada abad ke-14, tentara Salib akhirnya
terusir dari Timur Tengah dan membangkitkan kebanggaan bagi masyarakat
Arab.
Lain lagi pada masa
pemerintahan dinasti Usmaniyah — di Barat disebut Ottoman — yang
kekuatan militernya berhasil memperluas kekuasaan hingga ke Eropa, yaitu
Wina hingga ke selatan Spanyol dan Perancis. Kekuatan militer laut
Usmaniyah sangat ditakuti Barat saat itu, apalagi mereka menguasai Laut
Tengah.
Kejatuhan Islam ke
tangan Barat dimulai pada awal abad ke-18. Umat Islam mulai merasa
tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi setelah masuknya
Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu Napoleon masuk dengan membawa
mesin-mesin dan peralatan cetak, ditambah tenaga ahli.
Dinasti Abbasiyah jatuh
setelah kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahannya diserang oleh
bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Di sisi lain, tradisi
keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah.
Salah langkah diambil
saat mereka mendukung Jerman dalam perang dunia pertama. Ketika Jerman
kalah, secara otomatis Turki menjadi negara yang kalah perang sehingga
akhirnya wilayah mereka dirampas Inggris dan Perancis.
Tanggal 3 Maret 1924,
khilafah Islamiyah resmi dihapus dari konstitusi Turki. Sejak saat itu
tidak ada lagi negara yang secara konsisten menganut khilafah Islamiyah.
Terjadi gerakan sekularisasi yang dipelopori oleh Kemal At-Taturk,
seorang Zionis Turki.
Kini 82 tahun berlalu,
umat Muslim tercerai berai. Akankah Islam kembali mengalami zaman
keemasan seperti yang terjadi di 700 tahun awal pemerintahannya?
Ketua MUI, KH Akhmad
Kholil Ridwan menyatakan optimismenya bahwa Islam akan kembali berjaya
di muka bumi. Ridwan menyebut saat ini merupakan momen kebangkitan Islam
kembali. ”Seperti janji Allah, 700 tahun pertama Islam berjaya, 700
tahun berikutnya Islam jatuh dan sekarang tengah mengalami periode 700
tahun ketiga menuju kembalinya kebangkitan Islam,” ujarnya.
Meskipun saat ini umat
Islam banyak ditekan, ujar Ridwan, semua upaya ini justru semakin
memperkuat eksistensi Islam. Ini sesuai janji Allah yang menyatakan
bahwa meskipun begitu hebatnya musuh menindas Islam namun hal ini
bukannya akan melemahkan umat Islam. ”Ibaratnya paku, semakin ditekan,
Islam akan semakin menancap dengan kuat,”ujarnya.
Sementara itu, Luthfi
menyatakan sistem khilafah Islamiyah masih relevan diterapkan pada zaman
sekarang ini asal dimodifikasi. Ia mencontohkan konsep pemerintahan
yang dianut Iran yang menjadi modifikasi antara teokrasi (kekuasaan yang
berpusat pada Tuhan) dan demokrasi (yang berpusat pada masyarakat).
Di Iran, kekuasaan
tertinggi tidak dipegang parlemen atau presiden, melainkan oleh
Ayatullah atau Imam, yang juga memiliki Dewan Ahli dan Dewan Pengawas.
Sistem pemerintahan Iran ini, menurut Luthfi, merupakan tandingan sistem
pemerintahan Barat. ”Tak heran kalau Amerika Serikat sangat takut
dengan Iran karena mereka bisa menjadi tonggak peradaban baru Islam.”
Konsep khilafah
Islamiyah, kata Luthfi, mengharuskan hanya ada satu pemerintahan Islami
di dunia dan tidak terpecah-belah berdasarkan negara atau etnis. ”Untuk
mewujudkannya lagi saat ini, sangat sulit,” kata dia.
Sementara Kholil Ridwan
menjelaskan ada tiga upaya konkret yang bisa dilakukan umat untuk
mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Yang pertama adalah
merapatkan barisan. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 103 yang
isinya “Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai berai.”
Upaya lainnya adalah
kembali kepada tradisi keilmuan dalam agama Islam. Dalam Islam,
jelasnya, ada dua jenis ilmu, yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Yang masuk golongan ilmu fardhu ‘ain adalah Al-Quran, hadis, fikih,
tauhid, akhlaq, syariah, dan cabang-cabangnya. Sedangkan yang masuk ilmu
fardhu kifayah adalah kedokteran, matematika, psikologi, dan cabang
sains lainnya.
Sementara upaya ketiga adalah dengan mewujudkan sistem yang berdasarkan syariah Islam.
d. Runtuhnya sebuah kejayaan
Jatuh itu memang
menyakitkan. Apalagi ketika kita udah berada jauh di puncak kesuksesan.
Setelah berhasil membangun kejayaan selama 14 abad lebih, akhirnya
peradaban Islam jatuh tersungkur. Inilah kisah tragis yang dialami
peradaban Islam. Bukan tanpa sebab tentunya. Serangan pemikiran dan
militer dari Barat bertubi-tubi menguncang Islam. Akibatnya, kaum
muslimin mulai goyah. Puncaknya, adalah tergusurnya Khilafah Islamiyah
di Turki dari pentas perpolitikan dunia.
Saat itu, Inggris
menetapkan syarat bagi Turki, bahwa Inggris tak akan menarik dirinya
dari bumi Turki, kecuali setelah Turki menjalankan syarat-syarat
berikut: Pertama, Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah, mengusir
Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya. Kedua, Turki harus
berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah.
Ketiga, Turki harus memutuskan hubungannya dengan Islam. Keempat, Turki
harus memilih konstitusi sekuler, sebagai pengganti dari konstitusi yang
bersumber dari hukum-hukum Islam. Mustafa Kamal Ataturk kemudian
menjalankan syarat-syarat tersebut, dan negara-negara penjajah pun
akhirnya menarik diri dari wilayah Turki (Jalal al-Alam dalam kitabnya
Dammirul Islam Wa Abiiduu Ahlahu, hlm. 48)
Cerzon (Menlu Inggris
saat itu) menyampaikan pidato di depan parlemen Inggris, “Sesungguhnya
kita telah menghancurkan Turki, sehingga Turki tidak akan dapat bangun
lagi setelah itu… Sebab kita telah menghancurkan kekuatannya yang
terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.”
Jadi terakhir kaum
muslimin hidup dalam naungan Islam adalah di tahun 1924, tepatnya
tanggal 3 Maret tatkala Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki alias
Konstantinopel diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris keturunan Yahudi,
Musthafa Kemal Attaturk. Nah, dialah yang mengeluarkan perintah untuk
mengusir Khalifah Abdul Majid bin Abdul Aziz, Khalifah (pemimpin)
terakhir kaum muslimin ke Swiss, dengan cuma berbekal koper pakaian dan
secuil uang. Sebelumnya Kemal mengumumkan bahwa Majelis Nasional Turki
telah menyetujui penghapusan Khilafah. Sejak saat itulah sampai sekarang
kita nggak punya lagi pemerintahan Islam.
Akibatnya, umat Islam
terkotak-kotak di berbagai negeri berdasarkan letak geografis yang
beraneka ragam, yang sebagian besarnya berada di bawah kekuasaan musuh
yang kafir: Inggris, Perancis, Italia, Belanda, dan Rusia. Di setiap
negeri tersebut, kaum kafir telah mengangkat penguasa yang bersedia
tunduk kepada mereka dari kalangan penduduk pribumi. Para penguasa ini
adalah orang-orang yang mentaati perintah kaum kafir tersebut, dan mampu
menjaga stabilitas negerinya.
Kaum kafir segera
mengganti undang-undang dan peraturan Islam yang diterapkan di
tengah-tengah rakyat dengan undang-undang dan peraturan kafir milik
mereka. Kaum kafir segera mengubah kurikulum pendidikan untuk mencetak
generasi-generasi baru yang mempercayai persepsi kehidupan menurut
Barat, serta memusuhi akidah dan syariat Islam. Khilafah Islamiyah
dihancurkan secara total, dan aktivitas untuk mengembalikan serta
mendakwahkannya dianggap sebagai tindakan kriminal yang dapat dijatuhi
sanksi oleh undang-undang.
Harta kekayaan dan
potensi alam milik kaum muslimin telah dirampok oleh penjajah kafir,
yang telah mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan cara yang
seburuk-buruknya, dan telah menghinakan kaum muslimin dengan
sehina-hinanya (Syaikh Abdurrahman Abdul Khalik, dalam kitabnya
al-Muslimun Wal Amal as-Siyasi, hlm. 13)
Beginilah kita sekarang
sobat. Tapi jangan bersedih, sebab kita akan kembali mengagungkan
kejayaan Islam itu. Yakinlah, kita masih bisa merebutnya, meski dengan
nyawa sebagai tebusannya. Kita lahir ke dunia ini dengan berlumur darah,
maka kenapa musti takut mati dengan berlumur darah. Syahid di medan
tempur.
e. Pandangan Islam terhadap IPTEK
Ahmad Y Samantho dalam
makalahnya di ICAS Jakarta (2004): mengatakan bahwa kemajuan Ilmu
pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh peradaban Barat
satu abad terakhir ini, mencegangkan banyak orang di pelbagai penjuru
dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan
oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuat banyak orang lalu
mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpa dibarengi
sikap kritis terhadap segala dampak negatif dan krisis multidimensional
yang diakibatkannya.
Peradaban Barat moderen
dan postmodern saat ini memang memperlihatkan kemajuan dan kebaikan
kesejahteraan material yang seolah menjanjikan kebahagian hidup bagi
umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut tidak seimbang, pincang,
lebih mementingkan kesejahteraan material bagi sebagian individu dan
sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8) saja dengan
mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam negara
lain dan orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan
militernya, maka kemajuan di Barat melahirkan penderitaan
kolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur & Selatan.
Kemajuan Iptek di
Barat, yang didominasi oleh pandangan dunia dan paradigma sains (Iptek)
yang positivistik-empirik sebagai anak kandung filsafat-ideologi
materialisme-sekuler, pada akhirnya juga telah melahirkan penderitaan
dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik di
Barat maupun di Timur.
Krisis multidimensional
terjadi akibat perkembangan Iptek yang lepas dari kendali nilai-nilai
moral Ketuhanan dan agama. Krisis ekologis, misalnya: berbagai bencana
alam: tsunami, gempa dan kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan
global yang disebabkan tingginya polusi industri di negara-negara maju;
Kehancuran ekosistem laut dan keracunan pada penduduk pantai akibat
polusi yang diihasilkan oleh pertambangan mineral emas, perak dan
tembaga, seperti yang terjadi di Buyat, Sulawesi Utara dan di Freeport
Papua, Minamata Jepang. Kebocoran reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia,
dan di India, dll. Krisis Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak
negara berkembang dan negara miskin, terjadi akibat ketidakadilan dan
’penjajahan’ (neo-imperialisme) oleh negara-negara maju yang menguasai
perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Negara-negara yang
berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara-negara
berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan
juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan
sains-teknologi. Karena nyatanya saudara-saudara Muslim kita itu banyak
yang masih bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan
kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba
budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat. Mereka
menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis
(’matre’) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan
teknologi informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis
sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar
bangsa-bangsa Muslim.
Kenyataan memprihatikan
ini sangat ironis. Umat Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan
peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa lalu, justru kini terpuruk
di negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya sumber daya alamnya, namun
miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan Ipteknya).
Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan dunia
hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara
80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan
remah-remah sisa makanan pesta pora bangsa-bangsa negara maju.
Ironis bahwa Indonesia
yang sangat kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas bumi, justru
mengalami krisis dan kelangkaan BBM. Ironis bahwa di tengah
keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan tembaga serta kayu
hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalami kesulitan dan
krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit akibat
kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepada
tanah air dan bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara
penghutang terbesar dan terkorup di dunia?
Kenyataan menyedihkan
tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia yang
mayoritas Muslim untuk gigih memperjuangkan kemandirian politik,
ekonomi dan moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak bisa lain
kecuali dengan pembinaan mental-karakter dan moral (akhlak)
bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah SWT. Serta melawan pengaruh
buruk budaya sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis
(mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu).
Akhlak yang baik muncul
dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT Sumber segala Kebaikan,
Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT hanya
akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan
pengenalan terhadap Tuhan Allah SWT dan terhadap alam semesta sebagai
tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan
Keagungan-Nya.
Islam, sebagai agama
penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan
mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan
merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam
sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan
pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk
kepentingan duniawi yang ’matre’ dan sekular, maka Islam mementingkan
pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian
Muslim kepada Allah SWT dan mengembang amanat Khalifatullah
(wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada
kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil
’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan
proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala
alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah.
Yang paling terkenal adalah ayat:
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58] : 11 )
Bagi umat Islam,
kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal)
Ke-Maha-Kuasa-an dan Keagungan Allah SWT. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang
diturunkan atau transmited knowledge), seperti kitab-kitab suci dan
ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun
ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya
bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga
dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan,
pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala
eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas
satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari
satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling
menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan
integratif.
Bila ada pemahaman atau
tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka
kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran
agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang
prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran
filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik
wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta
–yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan–, dan ayat-ayat suci Tuhan
(Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah SAAW — yang dipelajari melalui agama– ,
adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah
SWT, maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak
belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah
Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.
f. Keutamaan Mukmin yang berilmu
Keutamaan orang-orang yang berilmu dan beriman sekaligus, diungkapkan Allah dalam ayat-ayat berikut:
“Katakanlah: ‘Adakah
sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’
Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39] : 9).
“Allah berikan
al-Hikmah (Ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa
saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-Hikmah itu,
benar-benar ia telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (berdzikir) dari
firman-firman Allah.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 269).
“… Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)
Rasulullah SAW pun
memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik
mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat
menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits
Nabi SAW). “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin,
Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Al-Hadits Nabi SAW).
Mengapa kita harus menguasai IPTEK? Terdapat tiga alasan pokok, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat. Ini fakta, tdk bisa dipungkiri.
2. Negara-negara barat
berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara Islam.
Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya
untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya, misalnya
umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk
sendiri, ramai sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.
Selama 20 tahun
terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan.
Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim
dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar.
Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil
bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi
agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya
dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara
Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang
terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah
serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001.
Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim,
tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga
Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama
macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur’an, kewajiban apakah
yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum
Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini
secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang
berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca
peristiwa 11 September 2001 bahwa “serangan ini akan mengubah alur
sejarah dunia”, dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya.
Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami
dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal luar biasa yang
sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari
perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui
surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini,
yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan
hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai
ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di
belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat
di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di
tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis,
laporan, dan tulisan seputar “kedudukan kaum Muslim di Eropa” dan
“dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim.”
Beriringan dengan
berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan
berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah
perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa,
dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh
imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada
pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan
bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama
yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni
2004 dengan judul “Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di
Eropa” membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik
Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang
memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama
pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf
yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di
tahun lalu saja.
g. Dampak Kemajuan Islam di bidang IPTEK
1) Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma,
yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti
fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok
bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar Gereja Eropa, yang
dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di
milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang
pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter
melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara
mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan
berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang
lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua
agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi
perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya.
Dalam satu sesi, Uskup
Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak
kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak
umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam
sesungguhnya tidak memiliki dasar.
(1) Mempertimbangkan
kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium
baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB
menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim
Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar
13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2
juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian
Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari
keseluruhan jumlah penduduk Eropa.
(2)Kesadaran Beragama
di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa. Penelitian terkait juga
mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di
Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di
kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar
Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang
dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan
sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih
menonjol di kalangan mahasiswa universitas.
(3) Dalam sebuah
laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah
Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50
tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan
Islam.
h. Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian
sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa
Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan
tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam
telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara
Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa
Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh
kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal
balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan
sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa
dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa
Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran,
astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki
perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat
dalam membangun.
i. Bersatu pada Pijakan Bersama: “Monoteisme”
Perkembangan Islam juga
tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini.
Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme
(Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat
bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah
sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting,
khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur’an, Allah
memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab
(Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati
bersama:
Katakanlah: “Hai Ahli
Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS.
Ali ‘Imran, 3: 64)
Ketiga agama yang
meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan
nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan,
malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok
keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati,
cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran,
menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku
mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji
yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada
pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan
permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh
ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini,
dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah
seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama
ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus
berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
j. Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan
semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat
menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan
terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang
bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di
dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan
ajaran akhlak Al Qur’an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami,
perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur’an 14
abad yang lalu:
Mereka berkehendak
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan
Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus
Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar
untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik
tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak
Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman.
Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa
ajaran akhlak Al Qur’an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir
menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di
mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan,
permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian
akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar
luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan
pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan
para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:
Selama [masa] ini,
umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa
was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah]
akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan
di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
… Penghuni langit dan
bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit
akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh
kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang
masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat
hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)
Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan … (Sunan Ibnu Majah)
Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan akan demikian
jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada
pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun
bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada
pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir
perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al
Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa
di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman,
perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan
merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri,
lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi
kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui
perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk
menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran
akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan
menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan
agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al
Qur’an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan
kesejahteraan di seluruh dunia.
Kebangkitan Islam yang
sedang dialami dunia saat ini, serta peran Negara Iran dan Turki di era
baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al
Qur’an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita
bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah
ini.
k. Kekuatan Iptek
Hampir menjadi
pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek merupakan dasar dan
pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang
ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat
penguasaan bangsa itu terhadap Iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak
akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia
tidak mengambil dan mengembangkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap
bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara
ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.(2)
Diakui bahwa iptek,
disatu sisi telah memberikan “berkah” dan anugrah yang luar biasa bagi
kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan
“petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan.
Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat
dalam kehidupan uamt manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat
memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi
kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada
kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan
umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan
kemanusiaan.(3)
Di Eropa, sejak abad
pertengahan, timbul konflik antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama
(gereja). Dalam konflik ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak itu
sains melepaskan diri dari kontrol dan pengaruh agama, serta membangun
wilayahnya sendiri secara otonom.(4)
Dalam perkembangannya
lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat , terutama
sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau
“agama palsu”(Pseudo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat,
timbul mazhab baru yang dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains
telah menjadi isme, ideologi bahkan agama baru.(5)
Namun sejak pertengahan
abad XX, terutama seteleh terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang
dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya
integrasi ilmu dan agama, iptek dan imtak. Pembicaraan tentang iptek
mulai dikaitkan dengan moral dan agama hingga sekarang (ingat kasus
kloning misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral
(agama) di harapkan bukan hanya pada aspek penggunaannya saja
(aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi
(epistemologi)-nya sekaligus.
Di negara ini, gagasan
tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini sudah lama
digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang menggagas
integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem
dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu
agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan
iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa
dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan
kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat
yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam
arti yang seluas-luasnya.
Kekhwatiran ini, cukup
beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup mampu
menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan
banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat
terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut
menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita
rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai
raport merah pendidikan nasional kita.
Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana
telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat
besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh
asas iman dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa asas imtak,
iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif.
Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek
hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
(6)
Kedua, pada
kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan
pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan
hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama
yang dianut oleh bangsa kita. (7)
Ketiga, dalam hidupnya,
manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani),
tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan
spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan
menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi
hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan
jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat. (8)
Keempat, imtak menjadi
landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai
kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti
harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal
mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa
iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana
yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. An-Nur:39).
Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat
sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar
kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat
(hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan
kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah :201).
l. Menuju Integrasi Imtak dan Iptek
Untuk membangun sistem
pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem
pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek
pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu :
1) Filsafat dan orintasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia),
2) Tujuan Pendidikan
3) Filsafat ilmu pengetahuan (Episemologi), dan
4) Pendekatan dan metode pembelajaran.
Dalam filsafat
pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses mengalihkan
kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan
semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi
(penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung
dipahami sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh
satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata
dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ)
peserta didik. Dengan filosofi seperti itu, peserta didik sering
diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan
tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya sebagai wahana pemberdayaan
manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia dalam arti yang
sebenar-benarnya.
Berbicara filsafat
pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang filsafat
manusia. Soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh manusia dan
untuk manusia pula. Pendeknya, pendidikan melibatkan manusia baik
sebagai subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa manusia itu
sebenarnya, proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan seperti
yang selama ini terjadi.
Manusia, dalam
pandangan Islam, adalah puncak dari ciptaan tuhan (Q.S. At-Thiin : 4),
mahluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding mahluk lain
(Q.S. Al-Isra : 70), merupakan mahluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai
Khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah : 30, Shad :36), manusia dibekali
oleh Allah potensi-potensi baik berupa panca indera, akal pikiran
(rasio), hati (Qalb), dan sanubari (Q.S. As-Sajadh : 9). Dengan
demikian, manusia adalah mahluk rasional dan emosional, makhluk jasmani
dan rohani sekaligus.
Bertolak dari filsafat
manusia ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai ikhtiar
manusia yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi
baik yang dimiliki manusia sehingga ia mampu dan sanggup mempertanggung
jawabkan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini,
adalah pendidikan manusia seutuhnya, dan harus diarahkan pada
pembentukan kesadaran dan kepribadian manusia. Disinilah, nilai-nilai
budaya dan agama, imtak dan akhlaqul al-Karimah, dapat ditanamkan,
sehingga pendidikan, selain berisi transfer ilmu, juga bermakna
transformasi nilai-nilai budaya dan agama (imtak).
Lalu, apa tujuan
pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak berbeda
dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah SWT (Q.S.
Al-Dzariyat: 56). Dengan kata lain, pendidikan harus menciptakan
pribadi-pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang
dapat mengantar manusia meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan
akhirat. Pendidikan Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama)
yang takut bercampur kagum kepada kebesaran Allah SWT (Q.S. Fathir :
28), dan berorientasi pada penciptaan intelektual dengan kualifikasi
sebagai Ulul Albab yang dapat mengembangkan kualitas pikir dan kualitas
dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran : 191-193).
Proses integrasi imtak
dan iptek, seperti telah disinggung di muka, pada hemat saya, harus pula
dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya
menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu. Ontologi ilmu menjelaskan apa
saja realitas yang dapat diketahui manusia, sedang epiremologi
menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan itu dan dari mana
sumbernya.(9)
Dikotomi keilmuan yang
terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu integrasi
imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita harus
membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut. Kita harus
membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang
menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari
sumbernya, yaitu Allah SWT seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh
pendidikan Islam kontemporer semacam Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib
al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan belakangan Osman Bakar. (10)
Selain pada pada aspek
filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan seperti telah
diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan dengan
metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada akhirnya harus
berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun
perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek
dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam
disemua jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan
yang bersifat holistik, integralistik dan fungsional.
Dengan pendekatan
holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan
partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan
Ihsan, atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu
dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya
melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi
sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi
tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini
harus melahirkan budaya “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Integrasi
ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai
tambah dari pendidikan islam. (11)
Dengan pendekatan
integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan dipisahkan dari
pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus
dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini
berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari
belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al -Quran), sama
dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam
yang selama ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula
diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan intelektual.
Dengan secara
fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan
mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan
kaum muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan
pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan
ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang seluas-luasnya dalam
kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Semetara dari segi
metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang pendidikan
tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan
kecerdasan peserta didik demata-mata, sementara jiwa dan
spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu
dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif melalui praktik
dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan
prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada
saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik
(al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman
praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis bertugas mencari dan
menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan
kebenaran yang ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan
kerja intelektual pada hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas
kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan
ilmu tidak pernah bebas nilai. Pengembangan iptek harus diberi nilai
rabbani (nilai ketuhanan dan nilai imtak), sejalan dengan semangat wahyu
pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh
dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk
kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam
kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Dalam perspektif ini, maka pengembangan pendidikan bermajna dakwah dalam arti yang sebenar-benarnya
m. Penyikapan terhadap Perkembangan IPTEK
Setiap manusia
diberikan hidayah dari Allah SWT berupa “alat” untuk mencapai dan
membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap
kebenaran fisik, (2) naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan
hidup manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan atau
kemampuan rasional yang mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis
pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga
merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi, (4) imajinasi,
daya khayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan
pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat
menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus
bermoral.
Dalam menghadapi
perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat pesat,
dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan
norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Mehdi Ghulsyani
(1995), dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap IPTEK
moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK
moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai; (2) Kelompok
yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari
sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak
islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha
membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang
mengintrodusir istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep Islam
pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu
non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan
manusia merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri.
Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan
dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan
manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat manusia secara
alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia
ketingkat yang lebih rendah martabatnya.
Dari uraian di atas
“hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang islami
adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat
manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Kebenaran
IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu
sendiri. IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran
Allah dan bukan menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan
tujuan-tujuannya (yang baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama,
(4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal
dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam
arti luas.
n. Keselarasan IMTAQ dan IPTEK
“Barang siapa ingin
menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan
ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan
ilmu” (Al-Hadist).
Perubahan lingkungan
yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah memberikan
kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di sisi lain,
memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para
pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru
yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini
menuntut perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang
kerap bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari sisi positif,
perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian
pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan.
Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam
rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi
dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap
optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam
menghadapi perubahan itu.
Don Tapscott, dalam
bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei terhadap para
remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari
generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para
remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas.
Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas
berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga
inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use
something as good as possible bukan how does it work. Mereka pemikir
cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu,
serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap optimis terhadap
keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan
pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan
aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan
kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya
nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan
keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di
akhirat.
Jika hal itu dilakukan,
tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan
melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya
serta memperburuk citra kepelajarannya. Amatilah pesta tahunan pasca
ujian nasional, yang kerap dipertontonkan secara vulgar oleh sebagian
para pelajar. Itulah salah satu contoh potret buram kondisi sebagian
komunitas pelajar kita saat ini.
Untuk itu, komponen
penting yang terlibat dalam pembinaan keimanan dan ketakwaan (imtak)
serta akhlak siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor lain ikut
mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor paling
dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat
pada pembentukan karakter siswa.
Kepada guru harapan
tercapainya tujuan pendidikan nasional disandarkan. Ini sebagaimana
termaktub dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Intinya, para pelajar kita disiapkan agar menjadi
manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Sekaligus jadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan
sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus mempertimbangkan
keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan intelektual dan aspek
spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Namun
praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru
agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan kedua aspek itu
tidak berproses secara simultan.
Upaya melibatkan semua
guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan dan ketakwaan (imtak)
pada setiap pokok bahasan yang diajarkan, sesungguhnya telah digagas
oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama.
Survei membuktikan,
mengintegrasikan unsur ‘imtaq’ pada mata ajar selain pendidikan agama
adalah sesuatu yang mungkin. Namun dalam praktiknya, target kurikulum
yang menjadi beban setiap guru yang harus tuntas serta pemahaman yang
berbeda dalam menyikapi muatan-muatan imtaq yang harus disampaikan,
menyebabkan keinginan menyisipkan unsur imtak menjadi terabaikan.
Memang tak ada sanksi
apapun jika seorang guru selain guru agama tidak menyisipkan unsur imtaq
pada pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Jujur saja guru umumnya
takut salah jika berbicara masalah agama, mereka mencari aman hanya
mengajarkan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Sesungguhnya ia bukan
sekadar tanggung jawab guru agama, tapi tanggung jawab semuanya. Dalam
kacamata Islam, kewajiban menyampaikan kebenaran agama kewajiban setiap
muslim yang mengaku beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
o. Islamimisasi IPTEK
Sains adalah sarana
pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah ungkapan fisik
dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa memahami mengapa
di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu demikian pesat
berkembang budaya “pachinko” dan game. Tentu disebabkan mereka tak
beriman akan kehidupan setelah mati, dan tak mempunyai batasan tentang
hiburan.
Kini ummat Islam hanya
sebagai konsumen sains yang ada sekarang. Kalaupun mereka ikut berperan
di dalamnya, maka – secara umum — mereka tetap di bawah kendali pencetus
sains tersebut. Ilmuwan-ilmuwan muslim masih sulit menghasilkan
teknologi-teknologi eksak — apalagi non-eksak — untuk menopang
kepentingan khusus ummat Islam.
Dunia Islam mulai
bangkit (kembali) memikirkan kedudukan sains dalam Islam pada dekade
70-an. Pada 1976 dilangsungkan seminar internasional pendidikan Islam di
Jedah. Dan semakin ramai diseminarkan di tahun 80-an.
Secara umum, dikenal 4 kategori pendekatan sains Islam:
1. I’jazul Qur’an (mukjizat al-Qur’an).
I’jazul Qur’an
dipelopori Maurice Bucaille yang sempat “boom” dengan bukunya “La Bible,
le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Qur’an dan Sains
Modern“).
Pendekatannya adalah
mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Qur’an. Hal ini kemudian
banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan
mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Qur’an sesuai dengan
sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Qur’an juga bisa
berubah.
2. Islamization Disciplines.
Yakni membandingkan
sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book
orisinil dari ilmuwan muslim. Penggagas utamanya Ismail Raji al-Faruqi,
dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide
Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang
mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di
Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan
program seputar Islamisasi pengetahuan.
Rencana Islamisasi pengetahuan al-Faruqi bertujuan:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguaasaan warisan Islam.
3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern.
4. Pencarian cara-cara
untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan
modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya).
5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah.
6. Realisasi praktis
islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern
ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.
3 Membangun sains pada pemerintahan Islami.
Ide ini terutama pada
proses pemanfaatan sains. “Dalam lingkungan Islam pastilah sains tunduk
pada tujuan mulia.” Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus
Salam dan Habibie pada kelompok ini.
4. Menggali epistimologi1 sains Islam (murni).
Epistimologi sains
Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan dari sinilah
dibangun teknologi dan peradaban Islam. Dipelopori oleh Ziauddin Sardar,
dalam bukunya: “Islamic Futures: “The Shape of Ideas to Come”” (1985),
edisi Indonesia: “Masa Depan Islam”, Pustaka, 1987).
Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran:
1. Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia.
2. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak: “psikologi”, “sosiologi”, dan ilmu politik.
3. Menerima
bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari epistimologi
Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada
peradaban Barat. 1Epistimologi: teori pengetahuan, titik dari setiap
pandangan dunia. Pokok pertanyaannya: “Apa yang dapat diketahui dan
bagaimana kita mengetahuinya.
Penemuan kembali sifat
dan gaya sains Islam di zaman sekarang merupakan salah satu tantangan
paling menarik dan penting, karena kemunculan peradaban muslim yang
mandiri di masa akan datang tergantung pada cara masyarakat muslim masa
kini menangani hal ini.
Dalam seminar tentang
“Pengetahuan dan Nilai-Nilai” di Stocholm, 1981, dengan bantuan
International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS),
dikemukakan 10 konsep Islam yang diharapkan dapat dipakai dalam meneliti
sains modern dalam rangka membentuk cita-cita Muslim. Kesepuluh konsep
ini adalah:
Paradigma Dasar:
(1) tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya.
(2) khilafah — kami berada di bumi sebagai wakil Allah — segalanya sesuai keinginan-Nya.
(3)`ibadah (pemujaan) —
keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan ridha Allah, tidak
serupa kaum Syu’aib yang memelopori akar sekularisme: “Apa hubungan
sholat dan berat timbangan (dalam dagang)”.
Sarana:
(4) `ilm — tidak
menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material, tapi
juga metafisme, semisal diuraikan Yusuf Qardhawi dalam “Sunnah dan Ilmu
Pengetahuan”.
Penuntun:
(5) halal (diizinkan).
(6)`adl (keadilan) —
semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah kebenciankamu
terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah 5 :
8). Keadilan yang menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan,
misalnya: menajamkan pisau sembelihan.
(7) istishlah (kepentingan umum).
Pembatas:
(8) haram (dilarang).
(9) zhulm (melampaui batas).
(10) dziya’ (pemborosan) — “Janganlah boros, meskipun berwudhu dengan air laut”.
Dalam membangun dan mengejar perbaikan iptek dunia Islam, Sardar mengajukan 2 pemikiran dasar:
1. Menganalisa kebutuhan sosial masyarakat muslim sendiri, dan dari sinilah dirancang teknologi yang sesuai.
2. Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia muslim.
Kenyataannya, sangat
tidak mudah bekerja di luar paradigma yang dominan, lantaran kita masih
terikat dan terdikte dengan disiplin-disiplin ilmu yang dicetuskan dari,
oleh dan untuk Barat.
Namun paling tidak ada
dua agenda praktis yang dapat dijadikan landasan: jangka pendek:
membekali ilmuwan Islam dengan syakhshiyah Islamiyah, dan jangka
panjang: perumusan kurikulum pendidikan Islam yang holistik.
Program perumusan
kurikulum pendidikan Islam ini sudah mulai terlihat bentuknya di
Indonesia, dengan lahirnya banyak sekolah sekolah Islam. Secara umum
garis besarnya berlandaskan: SD: habitual; SMP: habitual dengan konsep;
SMU: habitual dengan konsep dan ideologi. Diharapkan, anak anak yang
dididik di sini, pada saat memasuki universitas, sudah siap bertarung
secara ideologi.
Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaban Islam
Islam merupakan agama
yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam sangat
menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman,
Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (‘Allamahu al-Bayan)
bagi umat Islam. Dalam agama-agama lain selain Islam kita tidak akan
menemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk
belajar. Kita tahu bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah Surat
Al-‘Alaq yang memerintahan kita untuk membaca dan belajar. Allah
mengajarkan kita dengan qalam – yang sering kita artikan dengan pena.
Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu
yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain.
Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada
setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti
pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet
bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. Dalam surat Al-‘Alaq,
Allah Swt memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu
kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi
berikutnya. Dalam hal pendidikan, ada dua kesimpulan yang dapat kita
ambil dari firman Allah Swt tersebut; yaitu Pertama, kita belajar dan
mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Kedua, berkenaan dengan
penelitian yang dalam ayat tersebut digunakan kata qalam yang dapat kita
artikan sebagai alat untuk mencatat dan meneliti yang nantinya akan
menjadi warisan kita kepada generasi berikutnya.
Dalam ajaran Islam –
baik dalam ayat Qur’an maupun hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling
tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan sifat Allah Swt adalah Dia
memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seorang penyair besar Islam
mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini
kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan
dalam hal ilmu pengetahuan. Orang yang tinggi di hadapan Allah Swt
adalah mereka yang berilmu.
Dalam sebuah hadits,
Nabi Muhammad Saw menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang
lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatian dan penekanannya
pada kewajiban menuntut ilmu sedetail nabi Muhammad Saw. Maka bukan hal
yang asing jika waktu itu kita mendengar bahwa Islam memegang peradaban
penting dalam ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan waktu itu
didominasi oleh Islam yang dibangun oleh para ilmuwan Islam pada zaman
itu yang berawal dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara
lainnya. Itulah zaman yang kita kenal dengan zaman keemasan Islam,
walaupun setelah itu Islam mengalami kemunduran. Di zaman itu, di mana
negara-negara di Eropa belum ada yang membangun perguruan tinggi,
negara-negara Islam telah banyak membangun pusat-pusat studi pengetahun.
Sekarang tugas kita untuk mengembalikan masa kejayaan Islam seperti
dulu melalui berbagai lembaga keilmuan yang ada di negara-negara Islam.
Saya cukup apresiatif
dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang mengintegrasikan
antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Hal itu juga yang kami
lakukan di negara kami, Iran. Sehingga generasi Islam mendatang pada
masa yang sama, mereka ahli dalam ilmu pengatahuan dan ahli dalam bidang
agama. Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi
Allah hanya karena dua hal; karena imannya dan karena ketinggian
ilmunya. Bukan karena jabatan atau hartanya. Karena itu dapat kita ambil
kesimpulan bawa ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan iman. Tidak
bisa dipisahkan antara keduanya. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan
iman akan menghasilkan peradaban yang baik yang disebut dengan
Al-Madinah al-Fadhilah.
Dalam menuntut ilmu
tidak mengenal waktu, dan juga tidak mengenal gender. Pria dan wanita
punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Sehingga setiap orang
baik pria maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan oleh
Allah Swt kepada kita sehingga potensi itu berkembang dan sampai kepada
kesempurnaan yang diharapkan. Karena itulah, agama menganggap bahwa
menuntut ilmu itu termasuk bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas
kepada masalah shalat, puasa, haji, dan zakat. Bahkan menuntut ilmu itu
dianggap sebagai ibadah yang utama, karena dengan ilmulah kita bisa
melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya dengan benar. Imam Ja’far
As-Shadiq pernah berkata: “Aku sangat senang dan sangat ingin agar
orang-orang yang dekat denganku dan mencintaiku, mereka dapat belajar
agama, dan supaya ada di atas kepala mereka cambuk yang siap
mencambuknya ketika ia bermalas-malasan untuk menuntut ilmu agama”.
Alhamdulillah saya
melihat di negara Indonesia kaum pria dan wanita punya kesempatan yang
sama dalam menuntut ilmu. Itu semua karena ajaran agama Islam yang
menekankan kewajiban menuntut ilmu tanpa mengenal gender. Karena
menuntut ilmu sangat bermanfaat dan setiap ilmu pasti bemanfaat. Kalau
kita dapati ilmu yang tidak bermanfaat, hal itu karena faktor-faktor
lain yang mempengaruhinya. Sedangkan ilmu itu sendiri pasti sesuatu yang
bermanfaat.
3. Penutup
Kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang luar biasa. Bahkan Eropa pun
seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemajuan Islam terutama di bidang
IPTEK. Walaupun pada akhirnya kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah
telah berakhir dan hanya menjadi kenagngan manis belaka kita sebagai
generasi penerus harus senantiasa berusaha untuk menjadi generasi yang
pantang menyerah apalagi di zaman serba modern ini kemajuan IPTEK
semakin sulit untuk dibendung. Kemajuan IPTEK merupakan tantangan yang
besar bagi kita. Apakah kita sanggup atau tidak menghadapi tantangan ini
tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing .
Diantara penyikapan
terhadap kemajuan IPTEK masa terdapat tiga kelompok yaitu: (1) Kelompok
yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi
hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang
sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha
juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring
elemen-elemen yang tid
Iptek dan Peradaban Islam
ak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK
Islam dan berusaha membangunnya.
Daftar Pustaka
Farhana.Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah;Kebangkitan dan Kemajuan. Media ilmu.
Agar Umat Islam Mandiri.http://hidayatulloh.com
Samantho, Y.Ahmad.IPTEK dari Sudut Pandang Islam.http://ahmadsamantho.wordpress.com
Solihin, O.Sejarah Kejayaan Islam.www.gaulislam.com
Sa’aduddin, Nadri.Proletar : Masa Kejayaan Islam Pertama.http://www.mail-archive.com
Taher, Tarmizi.Ummatan Wasathan.www.republika.co.id
Yahya, Harun.Islam : Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa.www.harunyahya.com
Mustafawi, Prof.Dr. Ayatulloh Sayyid Hasan Sadat.Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaan Islam.www.umj.ac.id
Hafidz.Kegemilangan IPTEK di Masa Khilafah Abbasiyah.http://sobatmuda.multiply.com
Uli dan Rio L.Dulu Islam Pernah Berjaya.www.swaramuslim.net
Dinamika Madinatus Salam.www.republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar